Mencetak Buku Sendiri: Cara Instan Menjadi Penulis

Setelah menjalani karier menulis selama kurang lebih sepuluh tahun, saya telah mengalami berbagai pengalaman pahit manis dalam menerbitkan buku. Saya merasakan pahitnya kenyataan menjadi penulis pemula yang namanya belum diperhitungkan di jagat dunia tulis menulis. Karier menulis saya dimulai saat duduk di bangku kelas satu SMA. Ketika itulah saya memberanikan diri mengirimkan naskah cerpen ke beberapa majalah, dan hasilnya selalu ditolak. Beberapa majalah mengembalikan naskah cerpen itu disertai masukan-masukan untuk bahan perbaikan ke depannya.





Di bangku kelas tiga SMA, salah satu cerpen saya, akhirnya dimuat di salah satu majalah remaja. Sejak itu, saya semakin terpacu untuk mengirimkan cerpen ke majalah. Hingga berturut-turut cerpen saya dimuat di beberapa majalah. Tidak cukup dengan hanya mengirim naskah ke majalah, saya mencoba melebarkan sayap; menembus penerbit. Ternyata, lagi-lagi saya harus menghadapi proses seleksi yang ketat. Tiga naskah novel ditolak dengan entengnya oleh tiga penerbit berbeda. Hingga saya menemukan lomba menulis novel dari salah satu penerbit. Sebenarnya, penerbit itu juga pernah menolak novel saya, tapi untuk lomba yang diadakannya, saya mengirimkan naskah yang lain.
Naskah novel yang saya kirimkan untuk lomba itu juga pernah ditolak oleh penerbit lain. Rasa percaya diri terus saya tanamkan, bahwa meskipun naskah itu pernah ditolak oleh penerbit A, bukan berarti akan mengalami kegagalan yang sama di penerbit B. Tak disangka, novel itu justru menjadi pemenang kedua yang diadakan oleh penerbit B. Berkat lomba novel itu, yang memilih saya sebagai pemenang kedua, naskah-naskah novel saya berikutnya terhitung mulus menembus seleksi penerbit.
Tak kurang dari tiga belas novel remaja karya saya, diterbitkan oleh penerbit berbeda dalam kurun waktu kurang dari lima tahun. Namun, setelah menikah dan tenggelam dalam urusan domestik, saya ketinggalan banyak informasi di dunia tulis menulis. Telah terjadi perubahan besar dalam industri penerbitan buku. Beberapa penerbit yang pernah menerbitkan buku saya, juga mengalami kebangkrutan, hingga naskah-naskah saya yang berikutnya tak lagi diterbitkan. Saya seperti kembali menjadi penulis pemula dan harus memulai dari awal lagi untuk menerbitkan buku.
Tiga tahun berusaha mencari penerbit, akhirnya saya memutuskan untuk menerbitkan buku sendiri. Pengalaman menerbitkan belasan buku, rupanya tak lagi mengesankan penerbit. Saya harus mengikuti tren pasar yang ada dengan menyediakan naskah yang sesuai dengan keinginan pasar. Saya memilih sebuah jasa penerbitan indie, atau self publishing, dengan biaya murah dan sistem cetak buku Print on Demand, atau dicetak berdasarkan pesanan. Saya hanya membayar jasa produksi buku, seperti kover, layout kover, dan layout isi. Biaya cetak baru dibayar kalau sudah ada yang memesan buku saya. Berhubung menggunakan sistem POD, maka penjualannya hanya melalui web penerbit, atau online. Buku tidak tersedia di toko buku.   
Rupanya, jalan seperti itu pulalah yang diambil oleh seorang penulis pemula di Amerika, John Saul, yang saya baca beritanya di VOA. Tanggal 2 Juli 2012, website VOA Indonesia dalam tulisan berjudul "Mulai Karier Menulis dengan Mencetak Buku Sendiri" itu memberitakan tentang aktivitas John Saul menandatangani buku pertamanya di sebuah rumah di Alexandria, Virginia. Buku berjudul “Candle in the Window” itu adalah buku pertamanya yang berisi  koleksi syair John Saul, yang dikumpulkannya selama 40 tahun. Saul, yang berusia 64 tahun, telah berusaha menawarkan naskahnya ke beberapa penerbit, tapi tak ada yang bersedia menerbitkannya. Katanya, “setelah mendapat selusin penolakan dari percetakan dan penerbit, Anda akan merasa frustasi.” Akhirnya, pada tahun lalu, ia menerbitkan bukunya dalam bentuk e-book atau buku elektronik. Ternyata reaksinya sangat mengejutkan. Banyak orang yang membaca bukunya, dan penjualan melalui internet sangat banyak. Tidak semua orang suka membaca buku elektronik. Mereka menginginkan buku Saul dicetak di kertas. Saul pun bekerjasama dengan toko buku lokal untuk mencetak buku-bukunya.
Langkah yang ditempuh oleh Saul ini, tak jauh berbeda dengan langkah yang ditempuh oleh para penulis pemula di Indonesia. Bahkan, beberapa penulis yang sudah punya nama pun, tertarik untuk mencetak buku sendiri melalui jasa penerbitan indie atau malah membuat penerbitan sendiri. Lebih banyak yang menggunakan jasa penerbitan indie dengan biaya terjangkau, seperti yang telah saya coba.
Buku saya yang diterbitkan dengan jasa penerbitan indie
Memang, jasa penerbitan indie itu sangat membantu para penulis, khususnya penulis pemula yang ingin menerbitkan buku. Jika melalui proses seleksi seperti yang saya lakukan di awal karir menulis, tidak banyak penulis pemula yang beruntung menembus seleksi redaktur dan editor dalam waktu cepat. Persaingan dunia tulis menulis begitu ketat, dan proses penerbitan naskah pun tidak bisa cepat. Jika mengirimkan naskah cerpen atau tulisan-tulisan lain ke majalah, kita harus menunggu minimal dua minggu untuk mendapatkan jawaban apakah naskah kita layak muat. Kenyataan yang ada, proses menunggu itu bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Begitu juga ketika mengirimkan naskah ke penerbit. Ada banyak pertimbangan dari penerbit untuk menerbitkan naskah kita, selain melihat kualitas tulisan. Pengalaman, selera pasar, nilai jual naskah, bahkan nilai jual penulis, juga dipertimbangkan.  
Proses penerbitan buku melalui penerbit mayor pun tidak cepat. Dimulai dari editing, layout, hingga ke percetakan, paling cepat tiga bulan. Biasanya penerbit bermodal besar, yang bisa menerbitkan buku dalam waktu cepat. Penerbit yang modalnya masih pas-pasan, akan lebih lama lagi prosesnya. Bahkan pernah buku saya baru dua tahun kemudian diterbitkan, setelah naskah lolos seleksi. Berbeda dengan menerbitkan buku sendiri melalui jasa penerbitan indie. Ada jasa penerbitan indie yang sanggup mengerjakan proses produksi sebuah buku dalam waktu seminggu. Tak heran, kini banyak penulis pemula yang begitu mudahnya menerbitkan buku. Tak perlu proses seleksi dan tak perlu menunggu lama.
Namun, jasa penerbitan indie itu bukan tak ada kekurangannya. Beberapa teman penulis pernah mengalami kejadian tak enak, yaitu ditipu oleh pengelola penerbitan indie. Mereka sudah menyetor uang untuk biaya produksi dan percetakan buku, tapi pemilik penerbitannya seolah lenyap ditelan rimba. Tidak banyak juga buku indie itu yang diserap oleh pasar, karena masih belum banyak pembaca buku di Indonesia yang suka membeli buku secara online. Mereka masih lebih suka membeli buku di toko buku fisik. Bagi penulis, mereka harus gencar mempromosikan bukunya, karena banyak jasa penerbitan yang hanya fokus pada produksi buku, bukan pemasaran. Saya pribadi, mulai keteteran mempromosikan buku sendiri. Belum lagi jika harus mengirimkannya sendiri ke pembaca. Waktu untuk menulis jadi berkurang.  
Kualitas buku-buku indie juga banyak yang mengecewakan pembaca. Berdasarkan keluhan dari teman-teman pembaca, buku-buku indie itu banyak yang kurang bagus kualitas kover, layout, dan editingnya. Dari segi editing, banyak tulisan yang berantakan seperti tidak diedit. Alhasil, buku itu menjadi tidak enak dibaca. Lambat laun, pembaca tidak akan percaya lagi dengan kualitas buku indie. Di dalam pikiran mereka tertanam bahwa buku yang diterbitkan tanpa proses seleksi, pasti tidak bagus. Meskipun tidak semuanya begitu. Ada juga buku indie yang bagus.
Lebih enak jika buku dipajang di toko buku
Akhirnya, saya kembali kepada jalan lama; menembus seleksi penerbit mayor. Memang dibutuhkan kesabaran dan kerja keras maksimal untuk bisa menerbitkan buku di penerbit mayor. Alhamdulillah, beberapa buku saya telah kembali diterbitkan oleh penerbit mayor, dicetak massal, dan dijual di toko buku. Namun, bukan berarti menerbitkan buku sendiri tak bisa menjadi solusi. Jika ingin benar-benar maksimal, kita harus mempunyai modal maksimal, tidak menggunakan jasa penerbitan indie. Kita proses sendiri penerbitan buku itu, dari produksi sampai ke percetakan. Lalu, menitipkannya ke distributor untuk didistribusikan ke toko buku. Tentu saja modal yang dibutuhkan tidak kecil. Untuk bisa didistribusikan ke toko buku, harus mencetak minimal seribu eksemplar, dengan biaya kurang lebih sepuluh juta.
Jika tetap ingin menggunakan jasa penerbitan indie, pilihlah yang berkualitas dan terpercaya. Terutama untuk penulis pemula, harus menggunakan jasa editor yang telah berpengalaman. Sehingga, buku indie yang dihasilkan pun tidak kalah kualitasnya dengan buku yang telah melalui seleksi penerbit mayor, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh novel Supernova karya Dee Lestari, yang mulanya diterbitkan dengan modal sendiri oleh penulisnya. 


Motivasi menulis di atas diambil dari web kak Laylahana

Komentar