[CERPEN] Anak Jalanan

Anak Jalanan

Segerombolan anak kecil berjalan melewati rumahku. Ada lima anak. Mungkin usinya dibawahku. Mereka membawa masing-masing satu alat. Kecuali satu anak, ia membawa gelas aqua plastik. Kutilik, alat itu seperti alat musik untuk mengamen. Apakah mereka pengamen? pikirku. Mereka berjalan dengan riang hati, terlihat dari wajah mereka yang begitu cerah dan bernyanyi di sepanjang jalan.



Teriknya matahari dan sedikitnya pohon di kompleks perumahanku, seakan tak mereka rasakan. Peluh keluar dari dahi mereka dan mereka menganggapnya biasa. Aku mungkin akan mengambil tisu dan membersihkan wajahku.
Salah satu dari mereka melihatku. Akupun melambaikan tangan pada anak berbaju merah. Ia berhenti dan memanggil teman-temannya yang terus berjalan hingga tak menyadari salah seorang temannya berhenti. Merekapun berjalan menuju rumahku. Aku keluar dari rumah dan menemui mereka.
“Hai, kamu siapa? Mengapa melihat kami terus?” tanya anak berbaju merah tadi.
“Aku Reza. Aku tidak sengaja melihat kalian saat aku menatap keluar rumah tadi. Kalian mau kemana? Alat apa yang kalian bawa?”
Mereka diam. Sesaat suasana hening hingga anak berbaju putih yang membawa kricik-kricik, kayu yang dipasangi tutup–tutup kaleng menyahut, “Ini untuk kami mengamen.”
“Hei! Diamlah!” bentak anak berbaju kuning lusuh pada anak yang menjawab pertanyaanku tadi. “Bukan urusanmu!” bentaknya padaku. Ia pun mengajak teman-temannya pergi. Aku hanya bisa diam melihat mereka ditelan tikungan kompleks rumahku.
***
Matahari mulai menari dengan elok dari ufuk timur, seakan ingin memberitahukan kepada dunia ia telah datang untuk menemani keseharian kami. Aku telah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Dengan sepeda kebanggaanku, mulai merajai jalan yang masih lengang. Pagi seperti ini memang masih banyak orang yang bersantai di rumah. Menikmati sarapan pagi ataupun sekadar berkumpul dengan keluarga.
Aku memang terbiasa berangkat pagi ke sekolah. Walau sebenarnya aku bisa saja berangkat siang karena rumah yang dekat dari sekolah. Tapi aku suka dengan indahnya pagi. Embun yang masih menempel pada daun-daun hijau muda dan segar.
Hembusan angin lembut yang menerpa menambah semangatku untuk belajar di sekolah nanti. Betapa Tuhan begitu mampu membuat manusia sepertiku takjub akan ciptaannya.
Dari kejauhan kulihat segerombolan anak-anak kemarin yang lewat di depan rumahku. Mereka masih sama. Membawa alat yang sama. Memakai baju yang sama. Hanya saja mereka masih terlihat mengantuk. Aku pun menghampiri mereka.
Aku pun segera memarkirkan sepedaku dan menghampiri mereka.
“Hai. Kalian sedang apa pagi-pagi sudah ada di sini?” tanyaku.
“Lagi-lagi kau, mau kau apa?” tanya anak berbaju kuning lusuh yang kemarin membentakku.
Aku melihat anak berbaju merah kemarin. Ia diam saja seraya menerawang langit pagi yang memancarkan warna jingga yang memesona. Entah apa yang ia pikirkan. “Aku hanya ingin berteman dengan kalian. Tak bolehkah?” tanyaku balik.
Wajah anak itu memerah. Entah marah atau apa, aku juga tidak tahu. “Pfiiu” ludahnya. “Berteman dengan kami? Tak salah dengar aku? Ha?” wajahnya menunjukkan raut tak percaya bahwa aku memang ingin berteman dengan mereka.
“Buat apa berteman dengan kami? Hanya anak jalanan. Pengamen. Tak seperti kau. Bisa sekolah. Hidup enak bersama orang tua,” ujarnya.
Anak berbaju merah yang tadi terus menerawang langitpun, akhirnya angkat bicara. “Hei Rus, jangan kamu seperti itu. Dia ingin berteman dengan kita. Jarang-jarang ada yang mau berteman dengan pengamen seperti kita ini!”
Anak itupun segera berdiri dan menarik tanganku menjauhi teman-temannya yang masih tak bergeming. Kecuali anak yang dipanggil Rus tadi, ia masih terlihat marah dengan anak yang menarik tanganku.
“Maafkan temanku tadi ya, dia memang orang yang mudah tersinggung” ujarnya padaku. Akupun mengangguk dan mengulurkan tanganku kepadanya. “Namamu siapa?”
“Zuhdan,” seraya menerima uluran tanganku. Ia tersenyum. “Aku ingin menjadi temanmu.”
“Baiklah. Oh ya, mengapa temanmu tadi tidak suka jika aku berteman dengan kalian? Apakah salah ingin berteman?” tanyaku.
“Tidak. Sama sekali tak salah. Rusdi memang begitu anaknya. Mudah emosi. Dia berfikir kau hanya berbohong dan memanfaatkan dia seperti halnya dia dulu.”
“Maksudmu apa? Dia pernah dimanfaatkan bagaimana?”
Aku sedikit terkejut dengan apa yang Zuhdan katakan. Benarkah? Rusdi pernah dimanfaatkan seseorang? Sungguh tega sekali dia. Mungkin ini yang membuat Rusdi begitu emosional terhadap orang yang ingin berteman dengannya.
Zuhdan menarik nafas panjang. “Dulu ada anak bernama Deni yang berpura-pura mengajaknya menjadi teman. Dia senang bukan main hingga setiap hari bercerita tentang Deni setiap hari. Tapi hingga suatu waktu, ia seakan hanya sebagai pembantu si Deni. Dia di ajak jalan-jalan, bermain, dan lainnya hanya untuk menjadikan Rusdi pembantu. Membawa minuman, handphone, dan barang-barang Deni. Dari situlah ia membenci siapapun yang ingin menjadi temannya,” jelas Zuhdan. Aku kini mengerti.
Mungkin ini yang membuat Rusdi begitu emosional terhadap orang yang ingin berteman dengannya. Terlebih jika itu dari kalangan mampu yang biasa menjatuhkan dan tidak menganggap keberadaan pengamen seperti mereka.
“Oh... tapi aku tak seperti itu. Aku sungguh ingin berteman. Jika memang Rusdi tak mau menjadi temanku, setidaknya kamu mau.” Ia hanya tersenyum.
“Kau tak jadi berangkat ke sekolah?” tanyanya.
“Oh iya, lupa. Hehe... Aku berangkat sekolah dulu ya. Kapan-kapan kita ketemu lagi,” teriakku sambil berlari menuju sepedaku.
***

Hingga kini, Zuhdan dan aku semakin dekat. Kami menjadi sahabat yang sangat kompak. Ia sering memintaku untuk mengajarinya membaca, menulis dan menghitung yang tak pernah ia ketahui. Kini tak ada lagi kata anak jalanan, pengamen, dan lain sebagainya. Yang ada kini, Zuhdan adalah sahabat baikku.

Komentar