[REVIEW] Antologi Cerpen "Dingklang Tak Lagi Menggonggong"

RESENSI BUKU
DINGKLANG TAK LAGI MENGGONGGONG



Judul Buku : Dingklang Tak Lagi Menggonggong
Penulis : Dwiyanto
Penerbit : Citra Gemilang Publisher
Cetakan : Pertama, Desember 2015
Tebal : vi+154 halaman
Ukuran Buku : 14cm x 20cm
ISBN : 978-602-7319-36-3



Buku kedua dari Dwiyanto ini mengangkat cerita tentang kehidupan anak-anak. Dalam buku kumpulan cerpen ini, terdapat 20 cerita anak yang ia tulis dengan harapan bahwa warna warni dunia anak dapat kembali di tengah serbuan tayangan televisi yang luar biasa. Cerita anak sendiri adalah sebuah oase penyegar akan keringnya imajinasi anak karena disuguhi cerita yang mendidik daripada anak bermain game online yang tidak ada manfaatnya.

Karena berbentuk kumpulan cerpen dan berisi cerita anak, kesan pertama kali saat membaca adalah berimajinasi dengan tokoh Dingklang pada cerpen pertama berjudul ‘Dingklang Tak Lagi Menggonggong’ yang juga dijadikan sebagai judul buku.

Dingklang –yang diceritakan sebagai anjing, sangat dibenci tokoh aku -sebagai manusia. Dingklang sendiri adalah anjing yang tidak memiliki tuan dan hidup dengan mengais makanan di tong sampah kompleks perumahan. Kaki belakangnya bengkak, sehingga ia berjalan pincang. Bulu-bulunya kasar, matanya selalu berair, dan banyak koreng bertaburan di sekujur tubuhnya membuat tokoh Aku menganggapnya sebagai anjing kumuh.

Dingklang senang sekali bermain dengan anjing pudel tokoh aku, tetapi anjing pudel itu dikurung di halaman belakang rumah. Tokoh aku tak ingin anjing kesayangannya bermain dengan anjing kudisan seperti Dingklang.

Saat sore hari bersama gerimis datang dengan mendung gelap, tokoh aku merasa gelisah. Ayah dan ibunya belum juga pulang. Akhirnya, ia pun menonton televisi. Saat menonton, ia teringat akan burung perkutut ayahnya, dan berjalan menuju beranda rumah untuk melihat burung itu. Tapi betapa terkejutnya ia saat melihat sosok laki-laki hendak membawa burung perkutut milik ayah.

“Maling,” aku berteriak dengan suara gemetar bercampur ketakutan.

Laki-laki itu mengeluarkan golok yang dibawanya. Ia semakin takut.

“Guk guk guk....” suara keras gonggongan anjing memecah kebekuan. Suara khas Dingklang dan disusul suara anjing pudelnya.

Suasana menjadi bising. Laki-laki itu jadi panik. Laki-laki itu pun meninggalkan sangkar buung perkutut dan dengan cepat, tangan lelaki yang membawa golok itu terayun ke tubuh Dingklang. Sekali tebas, Dingklang pun mati. Dingklang berkelonjotan tak bergerak. Tak ada lagi suara gonggongan. Orang-orang kampung keluar rumah dan lelaki itu kabur membonceng motor temannya. Tokoh Aku menghampiri Dingklang. Tak ada lagi tarikan napas naik turun di perut Dingklang. Diusapnya tubuh Dingklang dan tak terasa air matanya jatuh.

Pembaca seakan dibawa pada cerita sedih pada awal membaca buku ini, saya pun juga merasa sedih dan kasihan dengan Dingklang. Tentulah dari cerita pertama sekaligus pembuka ini, kita bisa memberitahukannya kepada anak, adik, atau keponakan kita bahwa, sebagai manusia kita harus sayang kepada binatang. Tidak boleh memusuhi, menganggu, dan membencinya.

Dwiyanto, yang kini mengajar sebagai guru, sangat hebat dalam merangkai cerita, selain kisah yang unik dan menarik, ia juga memakai kata-kata yang akan membuat Anda takjub akan tulisannya. Pastilah. Karena beliau sudah berpengalaman menulis cerita anak. Banyak ceritanya dimuat pada media massa seperti majalah Bobo, Hopla, Junior, Koran Suara Merdeka, dan sebagainya.

Selain kisah Dingklang, masih banyak kisah lain yang memberikan banyak hikmah untuk kita. Salah satu kelebihan kumpulan cerpen anak ini adalah ide yang dikemas sangat sederhana tetapi sungguh memberikan sebuah pelajaran berharga bagi para pembaca.

Ditengah banyaknya novel-novel, dan kumpulan cerpen bertema cinta, buku ini merupakan sebuah terobosan baru untuk buku anak-anak yang tentu berbeda dengan kumpulan cerpen atau novel yang penulisnya masih belia dengan cerita yang itu-itu saja. Dunia anak akan diwarnainya dengan novel terbarunya berjudul Anak-Anak Kolong. (*)

Peresensi: Rio Dwi Cahyono



Komentar