[CERPEN] Tiga Ratus Enam Puluh Lima


Y




akin mau ninggalin aku?” candaku. Walau sebenarnya berat hati ini untuk berpisah dengannya. “Antara yakin dan tak yakin sih, tapi ini tugas sayangku. Harus gimana lagi? Kecuali menerima dan melaksanakannya.” Ia mengecup keningku. Darah ini berdesir hebat. Ini pertama kalinya ia menciumku sejak kami berpacaran 4 bulan lalu.
Ia memelukku. Kurasakan kedamaian di  hati. Kamu baik-baik ya, kalo kangen telfon aja, bisiknya. Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Tak terasa bulir air mata keluar dari mataku dan ia mengetahuinya.
“Jangan menangis, biarkan aku pergi dengan tenang tanpa memikirkan dan mengkhawatirkan kamu Fitri. Hanya 1 tahun aku meninggalkanmu. Setelah tugasku selesai, aku janji akan kembali” aku hanya diam. Tiga ratus enam puluh lima hari tanpamu bukanlah hal mudah bagiku Indra. Dan itu bukan waktu yang singkat.
“Sudahlah Fitri, jangan berfikir yang macam-macam. Aku akan kembali.” Ujarnya sembari pergi meninggalkanku karena kereta yang ia naiki akan segera berangkat. Aku hanya diam membisu. 


*****
2 tahun sebelumnya....
“Aku pergi dulu ya, jaga dirimu baik-baik” ujar Safri. Aku hanya tersenyum manja dan memeluknya. “Iya bawel, aku bisa jaga diri kog.” Ia hanya terkekeh.
Tak berapa lama, bus datang. Safri pamit dan segera menaiki bus.
Hingga saat ini, aku tak mengetahui keberadaan Safri. Sekedar telepon memberikan kabarpun tidak Safri lakukan. Entahlah. Mungkin ia telah sukses dan mapan hingga melupakanku. Atau mungkin ia telah memiliki penggantiku. Aku saat itu hanya sedih.
 Ditinggal dengan alasan jelas tapi dipenghujung pengharapan, ia tak kunjung datang. Saat sebelum ia pergi, ia berkata,
jika aku sudah sukses nanti, aku akan kembali dan menikahimu dek
Tapi kini semua lenyap. Aku menyesal telah menerima bualannya yang tak kunjung ditepati itu. Hingga aku tersadar dan membuang jauh-jauh harapan menikah dengan Safri.

*****
5 bulan yang lalu....
            Ia sering berkunjung ke kedai orang tuaku. Sekedar minum teh dan menikmati senja. Saat itu, aku yang menjaga kedai. Ia memesan teh dan aku segera membuatkannya. Aku ingat pesanan ia dulu, “Teh hangat dengan gula dua sendok saja” ujarnya kala itu. Kesan pertama kala itu : dingin dan kaku. Ia tampan, gagah, dengan dagu runcing, hidung yang mancung, bola mata cokelat berbinar dan tubuh yang proporsional membuatku terpesona. Ia datang ke kedai setiap hari dan itu pukul 5 sore tepat.
Saat itu aku berusaha menarik perhatiannya yang kulihat ia hanya tersenyum. Cenderung diam dan tertutup. Saat itu, aku mencoba bertanya siap namamu, tapi hanya kau jawab dengan singkat dan lembut “Indra”. Aku semakin kikuk. Hingga akhirnya aku diam. Tapi usahaku terus kugencarkan demi bisa berbincang denganmu. Aku ingat kala kita semakin akrab dan selalu menghabiskan hari-hari berdua. Menikmati indahnya taman bunga yang ada dipinggiran kota. Ah... betapa indahnya hari itu.
Dan, kini, kau dan aku bersatu dalam sebuah kata “pacaran”. Dan aku sangat senang.

*****
Tiga Ratus Enam Puluh Lima Hari Kemudian....
            Kau telah kembali, menepati janji waktu itu. Ya, tiga ratus enam puluh lima hari tanpa dirimu dalam hidupku sungguh berat. Namun, aku bisa menghadapinya hingga kau kembali padaku lagi. Aku senang sekali. Bayang-bayang tentang terulangnya kejadian seperti Safri pun hilang seketika. Ya, aku membayangkan kejadian itu akan terjadi pada Indra yang tak akan kembali. Dan dugaanku tak terbukti.
            “ Kamu kelihatan senang sekali? Ada apa sih?” aku hanya tersenyum. Aku tak ingin Indra tau masa laluku. Ya, selama ini aku selalu merahasiakannya. Ia hanya geleng-geleng tanda tak ingin melanjutkan pertanyaannya. Aku tertawa geli. Ah... Indra, apakah kamu adalah pangeran untukku? Semoga saja.
*****
              Hari ini, 5 Mei 2015
            Suasana rumah sangat meriah. Dekorasi bunga ada dimana-mana. Lantunan shalawat terus berdengung di daun telinga. Ya, hari ini, Indra dan aku akan menikah. Ah... betapa bahagianya diriku. Sesuatu yang ku impikan akan segera terwujud beberapa jam  lagi.
            Kulihat Indra sangat gagah dan tampan dengan balutan pakaian putih. Ayah dan Ibu menatapku bahagia.
     09.30 WIB
            “Saya terima nikahnya Fitriana Ayu Maroneh binti Fu’ad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas 10 gram dibayar tunai!” lantangnya mengucapkan kata yang biasa membuat lelaki sedikit grogi. Tapi, Indra bisa dengan sempurna. Semua berteriak sah. Aku segera mencium punggung tangan Indra yang baru beberapa detik menjadi suamiku. Aku menyunggingkan senyum. Ia juga tersenyum.



      Inilah akhir cerita kita Indra? Bersatu dalam sebuah lingkup keluarga yang akan kita bina. Keluarga yang akan kita jaga hingga kita menjadi seorang kakek dan nenek? Ah... betapa indahnya hariku bersamamu. Sekarang, kita telah memiliki buah hati yang tampan sepertimu. Semoga pernikahan ini akan selamanya langgeng.

-Fitri-

Komentar