[CERPEN] Orang Gila di Alun-Alun dan Keajaiban yang Bermunculan
Orang Gila di Alun-Alun dan Keajaiban yang Bermunculan
Karya Rio Dwi Cahyono
(Cerpen Juara 3 Penulisan Cerpen Pelajar dalam Rangka Festival Sastra UGM 2018)
“Ibu, bisa kau ceritakan kembali kisah
orang gila itu, Bu?” tanya anakku, Meyla.
“Kau tidak bosan dengan cerita itu, Nak?
Ibu menceritakannya hampir setiap hari. Sebelum kau tidur.”
“Tidak, Ibu. Aku selalu ingin
mendengarnya, lagi dan lagi,” ujarnya sembari tersenyum.
Aku hanya mengangguk, “Baiklah. Akan
kuceritakan.”
***
Kisah ini dimulai dari datangnya satu
orang gila yang datang ke kota Lisse. Semula, masyarakat biasa saja dengan
kedatangannya, toh untuk apa memikirkan orang gila yang tidak penting. Pakaian
compang-camping, badan kumal, rambut gimbal, dan bau. Di kota Lisse, masyarakat
hidup individualis. Tak suka mengurusi orang lain, apalagi orang gila. Namun
lama-lama mereka pun mengamati gerak-gerik orang gila itu.
Sejak kedatangannya, orang gila itu
duduk di tengah alun-alun dan berlagak seperti pertapa. Setiap pagi, tepat
pukul enam, orang gila –yang kini kutahu namanya Subani- selalu
berteriak-teriak mengeluarkan kalimat-kalimat yang akan membuat orang merinding
mendengarnya.
“Kiamat akan datang!”
“Badai menerjang.”
“Semua akan mati.”
Dan kalimat sejenisnya. Membuat seluruh
kota gaduh. Apa benar kiamat sudah dekat? Itu kan hanya omongan orang gila yang
sudah pasti tidak waras. Setiap pagi Subani itu jadi tontonan. Aku pun sering
menonton kelakuannya. Entah kenapa ada suatu hal yang masih menjadi misteri
dari datangnya orang gila itu.
Pernah suatu hari aparat kota mengusir
Subani, tetapi Pendeta melarangnya. Meskipun berstatus ‘orang gila’, Subani
berhak tinggal di sini. Herannya, aku tak pernah melihat Subani makan dan minum
sejak ia datang ke alun-alun. Ia selalu terpejam dan menyunggingkan semburat
senyum tipis di wajahnya.
Suatu ketika, saat musim panas menerpa
kota, dan masyarakat tengah mengeluh dengan suhu yang meningkat, Subani berulah
kembali. Ia menjerit dan menangis. Air mata jatuh bercucuran diwajahnya. Namun
tak seberapa lama, hujan turun di tengah panasnya matahari. Masyarakat heran
tetapi juga bersyukur.
“Hujan ini pasti berkat Subani,” kata
seorang lelaki.
“Bagaimana kau menyimpulkan itu?”
tanyaku.
Ia tersenyum dan menjawab, “tidakkah kau
mengerti? Tadi Subani menangis, keluar air mata. Setelah itu hujan datang.
Tanpa pertanda mendung.”
“Ah, mungkin kebetulan. Ini hujan
frontal mungkin,” timpal salah satu wanita.
Hari ini masih menjadi misteri.
Bagaimana mungkin hujan deras datang di saat mentari bersinar terik.
***
Dini hari, terdengar nyanyian merdu dari
arah alun-alun. Masyarakat berbondong-bondong datang untuk melihat penyanyi itu.
Tak kusangka, Subani-lah penyanyi itu. Ia masih terpejam tetapi mulutnya
mendendangkan syair indah. Masyarakat hanyut dengan nyanyian itu. Bahkan sampai
ada yang menangis. Ya, Subani tengah menyanyi syair pujian untuk Tuhan.
“Ternyata Subani bisa bernyanyi semerdu
ini.”
“Iya, aku juga tidak menyangka.”
“Aku yakin dia bukan orang gila.”
“Dia pasti malaikat yang sedang
menyamar.”
“Ya, betul. Aku setuju itu.”
Orang-orang sibuk membicarakan Subani.
Aku juga kagum dengannya. Apa benar dia malaikat untuk masyarakat kota Lisse?
Subani berhenti bernyanyi dan kami pun
membubarkan diri.
Hari demi hari masih sama. Sejak
datangnya Subani, keajaiban sering muncul di Lisse. Kemarin saat merebaknya
penyakit kulit dan orang-orang merasa gatal dengan kulitnya sendiri, termasuk
aku, Subani berkoar dari tengah alun-alun,
“Kulit, penyakit, semuanya musnah.
Ilalang. Jamur. Dan doa puji bagi Tuhan.”
Awalnya tidak ada yang paham dengan
omongan Subani. Hanya saja, aku mencoba meramu ilalang dan jamur menjadi serbuk
dan kuminum. Tak lupa aku berdoa pada Tuhan agar diberi kesembuhan. Ajaibnya,
saat aku bangun, kulitku sudah sembuh. Tak ada bekas penyakit lagi. Aku segera
menyebarkan perihal obat mujarab ini. Mereka semakin yakin bahwa Subani adalah
malaikat.
Masyarakat yang semula memandang rendah
Subani, kini mulai menghormatinya. Banyak dari mereka yang memberi makanan dan
minuman pada Subani. Tak jarang juga memberi Subani pakaian dan lainnya. Namun
semua itu disertai dengan pengharapan agar hidup mereka lebih makmur dan kaya.
Subani yang mendengar ocehan mereka hanya mengangguk.
Selain itu ada juga yang mengharapkan
jodoh pada Subani. Seperti saudaraku, Dharma. Ia meminta jodoh pada Subani
karena ia belum memiliki pasangan padahal umurnya sudah matang untuk berumah
tangga. Beberapa minggu kemudian, pernikahan Dharma digelar. Ia mendapatkan
Ajeng, adik kelasnya di sekolah menengah.
“Aku pernah meminta supaya menjadi kaya,
dan kini aku jadi saudagar minyak tanah.”
“Aku meminta jodoh, sekarang aku sudah
mau jadi ayah.”
“Aku pengin bisa menang olimpiade sains,
dan sekarang aku menjadi penerima nobel.”
“Ini semua berkat Subani.”
“Iya, aku sungguh hormat padanya.”
Obrolan masyarakat Lisse, kini lebih
seputar Subani. Keberadaan Subani menciptakan nuansa baru di kota Lisse.
Masyarakat kini mulai bersosialiasi, hidup berdampingan dengan baik dan tidak
lagi individualis.
Namun suatu ketika, seluruh kota
terkejut dan panik dengan terkaparnya Subani. Ia tampak tak berdaya dan
terbaring di tengah alun-alun. Masyarakat mulai mencemaskan nyawa Subani. Apa
ia bisa hidup lebih lama lagi? Subani meringis kesakitan dan memegang perutnya.
Ia nampak seperti orang sekarat dan akan mati.
“Kau!” Ia menunjukku.
Aku terkejut, “Ya? Ada apa Subani?”
Ia ingin berkata tapi juga menahan
sakit, “Jagalah anak dalam perutmu.”
Sungguh aku bingung. Anak? Dalam
perutku? Aku bahkan belum bersuami. Dan aku bukan wanita jalang pengobral tubuh
ke orang-orang. Bagaimana bisa ada anak dalam rahimku?
“Anak itu pemberian dari Tuhan. Jangan
terkejut. Itu keajaiban Tuhan. Jika kelak ia menanyakan ayah kandungnya, jawab
saja ayahnya adalah Tuhan.”
Aku semakin tak percaya. Setelah
mengatakan itu, Subani meregang nyawa. Semua orang menatapku.
“Itu keajaiban, Nara.”
“Jagalah anakmu hingga tumbuh dewasa.”
“Dongengkan kisah Subani pada anakmu
kelak.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum, “Aku
akan menjaga anak ini dengan baik.”
Jasad Subani mulai bercahaya. Silau
mulai menerpa mata kami semua. Detik kemudian, jasad itu hilang. Kami percaya
Subani kembali ke surga.
***
Selesai kudongengkan kisah Subani, Meyla
sudah tertidur lelap. Ia tampak manis dan mirip denganku. Kini, di usia Meyla
yang menginjak lima tahun, aku masih belum bersuami.
Terima kasih Tuhan, kisah orang gila
bernama Subani dan segala keajaiban yang kau berikan pada kami melalui dia,
akan kami kenang dan dongengkan pada anak-cucu kami.
-SELESAI-
Komentar
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar^^
Kalo info ini bermanfaat buat kamu, silakan share!