[RESENSI] Novel Bumi Manusia



Judul: Bumi Manusia
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Halaman: 535

“Cerita, Nyo, selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarpun ditampilkannya itu hewan, raksasa, atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat difahami daripada sang manusia..” (Nyai Ontosoroh, Hlm. 164)



Mungkin saya bukan siapa-siapa pun tidak pantas untuk mereview buku kondang dan mashyur ini. Namun, entah kenapa saya ingin mereview buku ini setelah selesai membacanya selama enam hari di tengah hiruk-pikuk sebagai pelajar full day school. Jujur saya membaca buku ini karena penasaran. Buku ini akan difilmkan tapi saya belum pernah membacanya, membuka saja tidak pernah. Maka setelah saya mendapat buku ini dari perpustakaan sekolah, saya langsung meminjamnya dan membacanya.

Bumi Manusia menceritakan kisah Minke (baca: Mingke) dalam menjalani kehidupannya yang penuh dengan konflik, ketegangan, tekanan, dan minim kebahagiaan. Berlatar di Surabaya dan Wonokromo serta beberapa daerah lain yang ada pada Jawa Timur. Diceritakan pada kisaran tahun 1898 – 1920-an.

Minke ialah siswa H.B.S yaitu sekolah untuk para Totok (Eropa asli), Indo (campuran/blasteran), juga Pribumi Ningrat (keluarga dari bupati dan sejenisnya). Meski ia adalah anak dari Bupati B, ia tak pernah mau memberi nama belakang pada namanya. Pun tak ingin menjadi penerus ayahnya untuk menjadi bupati. Ia ingin hidup bebas, tidak terikat. 

Menurut saya buku ini sendiri, selain menceritakan kisah Minke, juga menyoroti tentang Nyai Ontosoroh. Seorang gundik, kasarnya pemuas birahi tuannya. Mereka tinggal dengan lelaki Eropa tapi tanpa ikatan perkawinan dan melahirkan keturunan Indo (blasteran Eropa-Pribumi). 

“Gus, kabarnya sekolahmu maju. Syukur. Kadang heran juga aku bagaimana mungkin sekolahmu maju kalau kau kalap dengan nyai itu. Atau mungkin kau memang sangat pandai? Ya-ya, begitulah lelaki” (Bunda Minke, Hlm. 189)

Saya sangat suka dengan Nyai Ontosoroh, tentulah Minke juga. Nyai Ontosoroh (nama asli Sanikem) saat berusia 14 tahun dijual oleh ayahnya, Jurutulis Sastrotomo kepada Tuan Besar Kuasa (Herman Mallema) di Tulangan, Sidoarjo. Meski dibeli dan dijadikan gundik, Herman ternyata sangat baik pada Nyai. Ia mengajari nyai menulis, membaca, dan bertingkah laku layaknya Eropa terpelajar. Bahkan Nyai diberinya tugas untuk mengurus perusahaan. Meskipun seperti itu, ia tidak pernah mau dipanggil Mevrouw (Nyonya, dalam bahasa belanda) karena ia sadar bahwa darah dalam tubuhnya adalah pribumi asli.

Minke saat itu diajak temannya, Robert Suuhof berkunjung ke rumah mewah Nyai Ontosoroh. Setibanya, ia melihat Annelies, anak Nyai Ontosoroh yang diceritakan cantiknya melebihi Ratu Belanda saat itu. Minke pun jatuh cinta pada Annelies. Nasib baik berpihak pada Minke, Annelies pun menyukai Minke. Dari sinilah kisah romansa mereka mulai diceritakan oleh Pram.

“Dan terjatuhlah aku dalam kelunakan pelukannya. Jantungku mendadak berdebaran ibarat laut diterjang angin barat. Semua darah tersembur ke atas pada kepala, merenggutkan kesedaran dan tugasku sebagai dokter” (Minke, Hlm. 357)

Diceritakan dalam buku, pada masa itu, para Pribumi tidak mendapatkan keadilan hukum. Pengadilan Putih (pengadilan belanda di indonesia) hanya membela orang-orang eropa. Seakan dibuat Eropa harus menang dan Pribumi harus kalah. Minke yang merupakan seorang terpelajar layaknya Totok, menuangkan ide, gagasan, opini, dan kecamannya dalam tulisan yang sering dimuat di surat kabar dengan nama penanya, Max Tonellar. (Menurut saya, apa  Minke ini merupakan representasi dari Pram sendiri?)

Sebetulnya saya tidak ingin menceritakan isi bukunya lebih lanjut karena saya ingin kalian untuk membaca buku ini sendiri untuk mendapatkan sebuah pelajaran dari dalam bukunya. Di akhir ini saya hanya ingin menyampaikan bahwa Bumi Manusia bukanlah buku sastra yang berat bagi remaja millenial saat ini. Saya masih bisa memahami dan menikmati setiap kejadian yang diceritakan, terlebih mengandung unsur sejarahnya.

Apalagi akan adanya film Bumi Manusia, menurut saya, Bumi Manusia sendiri akan menjadi jembatan penghubung antara karya sastra dengan remaja masa kini. Pram menceritakan Bumi Manusia dengan sangat apik dengan khas gaya tulisannya. Buku ini seakan telah membawa saya dalam tingkat imajinasi dan penasaran yang tinggi, sehingga saya ingin membaca lanjutannya (buku kedua), Anak Semua Bangsa. Karena saya menganggap ending dari buku ini belum memuaskan bagi saya.

Saya pikir, buku ini bisa jadi bacaan wajib di tingkat menengah atas agar siswa dapat mengambil nilai positif dari apa yang disematkan Pram dalam Bumi Manusia.

“Dengan akan dilaksanakannya perampasan terhadap istriku daripadaku sesuai keputusan pengadilan, bertanyalah aku pada nurani Eropa: Adakah perbudakan terkutuk itu akan dihidupkan kembali? Bagaimana bisa manusia hanya ditimbang dari surat-surat resmi belaka, dan tidak dari wujudnya sebagai manusia?” (Max Tonellar, Hlm 507-508)

Komentar