[CERPEN] Masa Depan
Masa Depan
Rio Dwi Cahyono
Malam itu, jalanan lengah tak seperti
biasanya. Kota ini seakan mati untuk beberapa saat. Para prajurit kompeni tidak
terlihat batang hidungnya, entah kemana. Aku masih setia memantau keadaan. Biar
saja jalanan yang lengah tetapi aku jangan sampai lengah. Teman-temanku ada yang
masih berjaga dan ada pula yang sudah terlelap. Wajah sayu mereka tampak
membuatku merasa kami harus menang demi kehormatan negeri ini. Sudah lama kami
menjadi pribumi yang rela jadi prajurit sukarela. Dengan sekadar senjata
tradisional bambu runcing dan senjata hasil curian dari kompeni sebagai
pendukung. Saat aku sedang sibuk berjaga, komandan menemuiku.
“Kau tidak istirahat, Subani?” tanya
komandan.
“Ah, nanti saja. Aku takut mereka
menyerbu saat kita tertidur,” tukasku.
“Istirahatlah. Aku yakin malam ini kita
aman.”
Karena beliau adalah komandan dan rasa
hormatku tidak berkurang sedikit pun padanya, aku pun beranjak tidur.
***
Aku terbangun saat subuh. Kulihat
sekitar, teman-temanku tidak ada. Segera aku bangun dan mencari mereka takut
ada musuh yang datang dan menyerang. Namun, anehnya, senjata mereka masih ada
di tempat. Sayup-sayup kudengar suara gamelan dan gending jawa dari kejauhan.
Asalnya dari hutan pinggir desa yang tak jauh dari tempat kami tidur. Segera
aku menyusul ke sana.
Tak terduga sedang ada pertunjukan
tayuban dari warga desa. Aneh, pikirku. Bagaimana mungkin mereka bisa
mengadakan pertunjukan di tengah perang seperti ini? Teman-temanku dan komandan
pun tak luput dari godaan tayuban. Para penari sangat gemulai bergoyang dan
menghibur penonton.
“Kenapa kau diam di sini?” tanya seorang
wanita padaku.
“Ah, tidak. Aku hanya terkejut saja ada
pertunjukan tayub malam ini.”
“Marilah ke sana, bersenang-senanglah
seperti teman-temanmu. Ayo, kutemani,” ajaknya.
Aku tidak mengenal wanita itu. Hanya
saja entah kenapa aku mau saja dan menurut padanya. Alunan gending jawa
terdengar merdu di telingaku. Aku pun ikut bergoyang dengan yang lain.
***
DOOR...!! DOOR...!!
Satu persatu teman-temanku tertembak.
Kami terkejut bukan main. Arena tayub menjadi lautan darah. Ternyata prajurit
kompeni menyerbu kami. Aku pun lari dan bersembunyi. Sudah kuduga. Ada yang
aneh dengan semua ini. Apa mereka ada kongkalikong
dengan para tayuban ini? Sungguh tega para tayuban ini jika mereka lebih
berpihak pada kompeni, penjajah negara ini. Aku bersembunyi di balik batu besar
pinggir desa. Di sini aman, menurutku. Aku bisa melihat pertempuran di depan
mataku dengan perasaan hancur. Teman-temanku banyak yang gugur. Gugur dalam
bertugas dan memperjuangkan kemerdekaan. Tiba-tiba ada seorang kakek yang
menepuk pundakku.
“Sudahlah, Nak. Jangan bersedih.”
“Bagaimana mungkin aku tidak bersedih,
Kek. Aku merasa gagal berjuang untuk negaraku. Para kompeni itu memang licik.
Memanfaatkan situasi saat kami sedang bersenang-senang. Dan bodohnya aku juga
terjebak dalam fana itu.”
“Ini hanya ilusi. Berhentilah berjuang.
Tidak ada gunanya.”
Kalimat kakek itu membuatku naik pitam.
Apa katanya? Tak berguna?
“Diam kau orang tua. Kau bilang
perjuangan untuk negeri ini tidak berguna? Apa kau bagian dari kompeni itu,
hah?”
“Bukan seperti itu, Nak. Aku hanya ingin
bercerita padamu tentang negara ini tujuh puluh lima tahun lagi. Semua
perjuanganmu akan sia-sia. Kelak, penerusmu tak lagi suka pada negaranya
sendiri. Mereka lebih suka menganut budaya dan peradaban negara lain.
Semua hutan juga akan musnah dengan
dibangunnya gedung-gedung pencakar langit. Tidak ada lagi yang peduli bendera
merah putih di tiang bendera. Bahkan merah putih akan ada di bawah, di tanah.
Diinjak dan disepelekan.
Aku hanya tidak ingin perjuanganmu
sia-sia. Biarkan kompeni bersenang-senang dengan negara ini. Saat mereka sudah
bosan, mereka akan pergi,” jelas si kakek.
Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran
kakek itu. Bisa-bisanya dia bicara omong kosong itu. Saat aku ingin
mengumpatnya, si kakek sudah tidak ada di sampingku. Aku mencari ke sana ke
mari tapi hasilnya nihil. Seakan kakek itu menghilang. Saat aku sibuk mencari,
seorang kompeni mengetahui keberadaanku. Dia menembakkan pistolnya padaku.
DOOR..!! Aku merasa jantungku berdenyut
dengan cepat, lebih cepat, dan sangat cepat. Darah merembes kemana-mana dan aku
mulai jatuh terkapar. Pandanganku mulai hitam dan gelap.
***
Aku terbangun dengan keringat mengucur
deras. Kulihat di atasku, merah putih berkibar di tiang bendera dengan
sekelilingnya gedung-gedung besar yang tinggi. Apakah aku ada di masa depan? Di
tahun 2020? Di sini sangat panas. Pohon-pohon tidak selebat di masa aku
berjuang. Di depan mataku bagai kolase foto dan video muncul bencana-bencana
yang melanda. Hujan datang dengan lebatnya, banjir menerjang, gempa bergejolak,
dan lain-lain yang membuatku merinding. Jadi beginikah negara yang sudah
kuperjuangkan?
Kudengar suara tertawa kakek-kakek
menggema.
“Bagaimana? Masih mau berjuang untuk
kebobrokan ini di masa depan?”
Aku merasa hancur. Benarkah perjuanganku
sia-sia? Aku ingin mengumpat. Aku benci dengan semua ini! Benci!
***
Seseorang membangunkanku. Aku pun
terbangun dari tidur. Rupanya komandanlah yang membangunkanku. Apakah semua itu
hanya mimpi?
“Kenapa kamu, Bani?”
“Aku mimpi aneh, Komandan.”
“Sudah. Itu hanya mimpi. Mari
bersiap-siap untuk perang lagi. Kita harus berjuang demi negara ini.”
Aku masih tidak mengerti dengan semua
ini. Aku merasa bahwa itu semua nyata. Bahkan tadi aku melihat komandan sudah
mati di depan mata kepalaku sendiri. Tapi sekarang dia yang membangunkanku? Ah!
Apa aku sudah gila?!
Pagi itu seperti biasa. Kami saling
berjaga untuk mengantisipasi datangnya kompeni yang tiba-tiba. Bayangan masa
depan masih tidak lepas dari pikiranku. Tapi perasaan ragu dengan masa depan
masih terlalu banyak menyelimutiku. Di pikiranku saat ini, aku harus bisa
berjuang dan memerdekakan negara ini untuk kelangsungan kehidupan anakku kelak.
Aku ingin dia hidup dengan tenang dan tidak lagi perlu berperang seperti
bapaknya.
Hari itu kondisi masih sama seperti
kemarin; aman. Aku tidak tahu apa yang sedang direncanakan kompeni itu pada
kami. Pastinya mereka sedang menyusun rencana dengan matang untuk bisa mengalahkan
dan membunuh kami semua. Malam ini seperti biasanya, aku tidur dengan perasaan
was-was. Hatiku merasa gelisah dan tidak tenang. Entah akan ada peristiwa apa.
***
Tujuh puluh lima tahun kemudian ...
“Bapak, aku tahu bapak sudah berjuang
untukku. Untuk aku bisa hidup dengan bebas tanpa perlu menjadi seperti bapak.
Hanya saja, Pak. Kalau boleh memilih, aku ingin menjadi bapak saja. Berjuang
dan melawan kompeni. Saat ini kami saling lawan satu sama lain pak meskipun
satu darah, satu negara, satu bahasa.
Dan itu sangatlah susah. Pak, negara
kita hari ini sungguh berbeda dari bayangan bapak. Aku yakin itu. Bapak
membayangkan negara kita kelak akan menjadi negara aman, makmur, damai, dan
ramah bagi semua ‘kan? Nyatanya itu tidak sama sekali, pak. Anakmu ini tidak
merasakan itu semua. Yang ada hanya saling menjatuhkan, saling benci karena
perbedaan, dan lupa pada arti kemerdekaan sejati.
Pak, maafkan orang-orang penerusmu yang
tak tahu diri ini. Sampaikan permintaan maaf kami untuk para pejuang Nusantara
masa lalu. Masih ada waktu, Pak. Aku janji, anak cucuku akan meneruskan
perjuanganmu dengan baik. Aku akan mengajarkan mereka untuk merubah negara ini
menjadi lebih baik.”
Salam cinta,
Anakmu.
Cerpen di atas menjadi Juara 2 dalam Lomba Cipta Karya Bahasa yang diadakan oleh Kamadiksi Undip 2019
Komentar
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar^^
Kalo info ini bermanfaat buat kamu, silakan share!