[CERPEN] Semangkuk Rindu


Semangkuk Rindu 
oleh Rio Dwi Cahyono


sumber gambar: pixabay.com


Untuk Nara tercinta,
Bersama surat ini, kukirimkan kepadamu semangkuk rindu yang pernah kau sodorkan padaku dahulu, sebelum malam menghitam, sebelum batu mengeras, sebelum awan memutih, sebelum langit membiru, sebelum terlahirnya filosofi cinta, dan sebelum-sebelumnya.


Apakah mangkuk dengan penuh rindu itu sudah sampai pada genggamanmu duhai Nara-ku? Apakah masih kau dapatkan lembutnya rindu yang bagaikan coklat yang lumer dalam mulut? Tahukah kau Nara? Semangkuk rindu ini masih baru, dengan sedikit bumbu cinta yang indah, kucampurkan kedalamnya.
Kukirimkan semangkuk rindu ini padamu dan hanya untukmu Nara. Aku tak ingin lagi mengirimkan surat cinta yang penuh kata manis tak berarti itu. Hanya bualan saja. Namun, dengan semangkuk rindu ini, kubuktikan bahwa aku memang merindukanmu Nara. Walaupun kita jauh, aku akan tetap mencintaimu, dan menyayangimu.
Nara, pasti kau penuh tanya, bagaimana caraku bisa mengambil rindu dalam jiwa yang rapuh ini dan mengirimkannya padamu dalam amplop yang rapat dengan lem termahal dan terlengket di kota ini agar rindu ini, tak tercecer di jalan.
Senja itu, aku masih termangu diujung dermaga. Menatap begitu indahnya perak jingga yang membias dengan birunya laut. Debur ombak menabrak karang yang tengah asyik bersyahdu. Melupakan sejenak penat yang mereka hadapi. Senja masih bertahan saat aku mulai merasakan lembabnya udara. Memang tak masuk akal, di pinggir pantai dengan hawa yang sejuk, aku merasakan lembab. Kemudian kurasakan dingin menjalar dalam tubuh ini. Tubuh ini akan rapuh tanpamu disisiku. Hingga kupikir, mungkin aku tak akan lama lagi di sini. Tanpa komando, akupun pulang mengambil pisau tak bertuan yang pernah kutemukan di jalanan kala usai mengantarkanmu pulang. Sesudah kumendapatkannya, kini, senja ini akan menjadi saksi, saat hati ini akan kubelah menjadi beberapa bagian dan menuangkan rindu ini kesebuah mangkuk kecil bergambar Hello Kitty, tokoh kartun favoritmu.
Samar-samar, kudengar derap kaki menaiki bukit yang kupijak kini. Aku acuh dan mengabaikannya. Hingga tiba aku akan menyayat hati ini, seseorang bersuara dari belakangku.
“Mau apa kau anak muda? Mau bunuh diri? Jangan di sini. Ini bukit indah yang tak pantas kau kotori dengan darahmu itu,” ujarnya.
Aku diam. Tak bersuara dan tak membantah apa yang lelaki itu katakan. Dengan kesiapan, kugorekan pisau ini pada hatiku, darah mengucur, bukan, itu bukan darah, melainkan sebuah rasa yang amat menyiksa yang telah lama berdiam dalam hatiku. Warnanya ungu dengan sedikit putih dipinggirnya. Orang-orang yang ada dibelakangku terhenyak kaget, tak terkecuali lelaki itu.
Aku segera menarik paksa hati ini dari dalam tubuh yang rapuh. Kupotong hati ini menjadi empat bagian sama besar. Terlihat jelas, cairan berwarna hijau berbias merah muda itu dengan bentuk love berbingkai putih. Sungguh indah rasa rindu itu. Sulit tuk kubayangkan bagaimana bentuknya. Salah seorang dari mereka, segera mendekatiku. Ternyata ia ingin berfoto bersama hatiku.
“Hei, itu hatiku, hati yang sangat kucintai. Hati yang penuh dengan kenangan indah bersama mantan kekasihku,” seruku padanya.
Ia masih asyik mempermainkan hatiku, berfoto berulang kali. Membuat orang-orang yang lain ingin ikut andil dalam foto itu. Aku membiarkan mereka. Aku terus saja menyayat hati ini dan menuangkan cairan rasa rindu itu pada mangkuk yang telah kusiapkan. Saat cairan rindu itu kutuangkan, hm.. rasanya jiwa ini hidup kembali. Aku menuangkan semua cairan rasa rindu itu hingga mangkuk penuh. Segera kumasukkan dalam amplop itu dan turun bukit untuk menuju kantor pos. Setibanya di sana, ternyata kantor pos sudah tutup. Akupun menunggu diluar hingga besok dibukanya kantor pos ini kembali.
Satu minggu aku menunggu di depan kantor pos, dan satu minggu itu pula aku masih menemukan hal yang sama; tutup. Ya, sungguh aku seperti orang linglung. Sudah tahu bahwa ini libur lebaran, masih saja kumenunggu. Pagi itu, seseorang membangunkanku dari mimpi indah. Ternyata salah seorang petugas kantor pos, segera kulihat, pintu sudah dibuka, aku masuk dan mengirimkan cairan rasa rindu ini. Tahukah kau Nara? petugas itu tampak tak percaya bahwa aku akan mengirimkan mangkuk penuh rindu ini padamu. Mungkin, ia tidak pernah mempunyai teman atau bertemu orang konyol sepertiku yang sangat tergila-gila dengan cinta. Akhirnya, surat itu dikirim. Hingga, berada di dekapanmu dan tengah kau baca kini.
Nara-ku yang manis.
Terimalah persembahan cintaku untukmu itu. Semangkuk rindu yang harus kau simpan selalu. Aku ingin kau selalu mengingatku sampai kapanpun kau masih menemukan rindu diantara tumpukan mangkuk dalam almari dapurmu. Dengan ini, aku juga mengirimkanmu bias senja terakhir di pantai kita dan bandul karang buatanmu saat masih kecil dulu.
Salam sayang dan penuh cinta,
Dio

Komentar