[CERPEN] Ik Wacht Op Je
Ik
Wacht Op Je
(Aku
Menunggumu, bahasa Belanda)
Oleh:
Rio Dwi Cahyono
Dimuat di Radar Mojokerto, 7 Juli 2019
Musim semi selalu datang bersama
kenangan. Bayang-bayang gadis itu selalu saja menghampiriku. Senyumnya, lesung
pipitnya, dan semua ekspresi di wajahnya masih teringat jelas dalam memoriku.
Dua tahun lalu, aku bertemu dengannya.
Gadis yang tengah duduk di tepi kolam taman Keukenhof, kota Lisse, Holland
bagian selatan. Hari ketujuh dimana musim semi menyapa. Keukenhof adalah taman
bunga terbesar di Hollan –bahkan di dunia. Luasnya yang tiga puluh dua hektar
ini menyajikan bermacam bunga dan pepohonan yang siap memayungimu dari panasnya
sinar mentari.
Sekumpulan Daffadils tumbuh dengan anggun bersisian dengan merekahnya Arbutus yang dianggap bunga duka. Sebuah
kolam air mancur berdiri kokoh bersanding dengan patung suci yang memancarkan
air hingga suara gemericik mendominasi.
Di sudut taman tuliplah, yang hampir
masuk ke taman Narcissus, aku
melihatnya memandang tulip tanpa berkedip. Seolah tak ada pemandangan yang
lebih menarik daripada menunggu kuncup tulip yang mekar itu. Ia tak
menghiraukan orang-orang disekitarnya yang tengah asyik berfoto, bercanda tawa,
dan berlarian yang bagiku itu sungguh mengganggu.
Sebenarnya aku tak pernah ingin tahu
perihal gadis itu. Aku bukan orang yang ingin tahu tentang orang lain. Namun,
entah karena tak ada yang dapat kukerjakan di sini, selain memandang hamparan
bunga-bunga yang cantik ini, tentunya. Aku pun mendekatinya dengan langkah
perlahan. Mencoba berjalan tanpa ia ketahui bahwa ada lelaki asing, yang tak
dikenal mulai mendekatinya.
Ia masih tertawa memandangi segerombolan
merpati yang terbang. Aku ragu untuk menyapanya. Namun, kucoba untuk
mengeluarkan sepatah kata.
“Hai. Bolehkah aku duduk?” Klise memang
untuk sebuah kalimat pembuka dalam percakapan.
“Ah, tentu saja boleh. Silakan,” ujarnya
dengan nada senang.
Sepertinya ia memang gadis yang unik.
Selalu tersenyum, ramah kepada orang, dan seperti tak ada beban dalam hidupnya.
Aku pun duduk di sampingnya yang masih memandang ke bunga tulip.
“Kamu suka bunga tulip?”
“Ya. Aku sangat suka. Setiap bunga tulip
mekar, selalu membawaku ke masa lalu. Kenangan yang indah.”
“Apa karena kekasihmu dulu sering
memberimu bunga tulip sehingga kau menyukainya?”
“Bisa jadi tidak. Bisa jadi ya.” Ia
beranjak dari tempatnya. Memandangku sejenak.
“Bagiku mengingat mantan kekasihku itu
bagaikan warna abu-abu. Karena dia, aku merasakan putih, masa-masa indah yang
pantas dikenang. Bersamanya pula, aku merasakan hitam, masa yang layak
dilupakan.”
Ia kembali duduk. Matanya memandang
langit. Garis kesedihan terbentuk di wajahnya yang cantik itu. Bulir air mata
tak terasa jatuh dari pelupuk matanya.
“Ah, maafkan aku. Aku membuatmu bersedih
mengenang masa lalu.”
“Tidak apa-apa. Bukan salahmu. Akulah
yang salah karena belum bisa berdamai dengan masa lalu. Bukankah semua orang
harus bisa berdamai dengan masa lalunya yang menyakitkan?”
“Kau benar. Aku sendiri pun sedang
mecoba melupakan masa lalu.”
Aku berusaha tidak terbawa suasana. Aku
juga memiliki masa lalu yang sama sepertinya. Ditinggal pergi kekasih yang
sudah kucintai. Bahkan kami sudah membahas pernikahan. Namun, ia pergi
meninggalkanku demi bersama lelaki lain.
“Ah ya, aku lupa. Kita belum berkenalan.
Namaku Dio.” Aku mengulurkan tanganku.
“Aku Nara. Gadis penyuka tulip,” ujarnya
bersama senyum simpulnya.
“Bagaimana jika aku menemanimu di sini?
Mencoba untuk membantumu berdamai dengan masa lalu.” tanyaku.
“Tentu saja.”
Dan akhirnya kami pun berbincang. Entah
apa saja yang kami ceritakan. Ia gadis yang luar biasa, menurutku. Aku nyaman
berbicara dengannya. Sampai ketika malam datang menutup tirainya. Kami pun
pamit.
“Apakah esok kau akan kesini lagi?”
“Ya.” Ia melangkah pergi meninggalkanku
yang masih tersenyum untuk hari ini.
Keesokan sore, aku bertemu lagi
dengannya. Ia nampak bahagia bertemu denganku. Ia mengajak aku berjalan-jalan
mengitari taman Keukenhof. Ia bercerita tentang dirinya tanpa sungkan. Saat
kecil ia takut pada kupu-kupu. Ya, kupu-kupu.
“Aku takut dengan kupu-kupu karena
bagiku kupu-kupu tidak setia. Dia selalu terbang dan hinggap dimanapun. Tidak
pernah berhenti di satu tempat. Aku benci dengan perpisahan. Itu mengingatkanku
saat ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya.”
Ia terhenti dan menghela napas, “Tapi
aku tidak takut lagi dengan kupu-kupu. Aku tahu kupu-kupu itu cantik. Sama
sepertiku.” Ia tersenyum begitu menawan.
Sejak saat itu, kami mulai akrab. Aku
merasa nyaman dengannya. Begitupun sebaliknya. Bahkan beberapa orang mengira
bahwa kami sepasang kekasih. Ini tepat hari kedua puluh satu musim semi.
“Kamu suka bunga apa?” tanyanya saat aku
tengah menatap mekarnya Daffadils.
“Entahlah.” Aku memang tidak menyukai
bunga. Hanya saja berada di taman ini membuatku nyaman dengan segala keteduhan
yang ada. Sejenak melupakan penat yang menyesakkan. Dulu, aku memang menyukai Eidelweis. Itu pun dulu, saat aku masih
bersama wanita yang kucintai. Namun, saat ini, aku sangat benci bunga itu.
“Aku suka sekali tulip,” katanya.
Itu kalimat sudah beratus kali ia
katakan semenjak kami bersama. Ia selalu menceritakan tentang indahnya tulip.
“Tulip di taman ini hanya mekar dua
minggu selama musim semi. Aku pun tak tahu mengapa bisa seperti itu. Hanya
saja, selama dua minggu itu aku ingin sekali di sini untuk menemani tulip-tulip
itu mekar. Rasanya seperti kebahagiaan mulai muncul. Menunggu dan mengejarnya
di saat-saat mekar.”
“Aku juga suka tulip karena bunga itu
memiliki banyak warna yang artinya berbeda. Kamu bisa mengungkapkan semua yang
ada di hatimu melalui tulip.”
Aku hanya mengangguk tanda setuju. Aku
sungguh tak paham dengan jalan pikiran Nara, tapi aku menyukainya. Ia berlari
ke taman tulip. Sejenak berhenti dan mengedarkan pandangan ke segala arah. Aku
mendekatinya.
“Aku ingin memberimu bunga tulip.”
Ia melangkah ke arah hamparan tulip
ungu. Ia memetik satu bunga dan menghampiriku.
“Ini untukmu.”
Aku menerimanya dengan senang. Ia
memberiku tulip ungu. Kata orang, ungu identik dengan warna perempuan yang
sudah tak bersuami. Mungkinkah itu? Tapi ini warna tulip yang pastinya punya
artian lain.
“Warna ungu artinya apa?”
Ia hanya menggeleng dan lagi-lagi
tersenyum, “Carilah maknanya sendiri. Aku menanti balasanmu.”
Senja mulai pudar dan berganti malam.
Kami pun berpisah. Aku akan mencari makna warna tulip dan memberi balasan
untuknya esok sorenya.
Sore itu, aku kembali ke taman lebih
awal. Aku tahu makna dari tulip ungu itu. Cinta pandangan pertama. Saat aku
tahu maknanya, aku sungguh bahagia. Aku juga menyukainya. Mungkin sebelum dia
mulai menyukaiku. Artinya cintaku terbalaskan. Dan hari ini aku akan memberinya
tulip merah. Cinta yang dalam, untuknya.
Namun, hingga senja hampir saja memudar,
ia tidak datang. Mungkinkah ia tak akan datang? Memang hari ini, tulip mulai
menguncup kembali. Mekarnya mulai tak nampak.
Aku selalu menunggu Nara setiap sore di
taman itu. Di bangku yang sama, dekat hamparan bunga tulip. Aku masih berharap
ia datang dan perasaanku ini dapat tersampaikan. Musim semiku masih sama.
Penantian yang selalu kulakukan. Orang-orang yang ada di taman selalu
memandangku heran. Mungkin pikir mereka, ada orang gila yang tengah menanti
cintanya.
Pernah suatu hari, ada lelaki yang
datang padaku dan bertanya,
“Kenapa kamu sering duduk di sini tiap
sore?”
Aku hanya tersenyum, “Menunggu kekasihku
yang masih imajinasi.”
Ia beranjak pergi. Aku masih mendengar serapahnya
terhadapku, “Hah! Anak muda yang gila! Kekasih imajinasi tak mungkin ada!”
Aku akan tetap menunggu Nara. Karena aku
percaya suatu saat ia akan datang dan aku dapat jujur dengan perasaanku. Aku
percaya kelak kami akan menjadi sepasang
kekasih.
SELESAI
Rio Dwi Cahyono lahir di Blora, 4 Agustus 2001.
Menulis fiksi sejak masih SMP. Prestasi terbaiknya menjadi Juara 3 dalam
penulisan cerpen Festival Sastra UGM 2018. Saat ini sedang meramu buku kumpulan
cerpen perdananya.
Komentar
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar^^
Kalo info ini bermanfaat buat kamu, silakan share!