[CERPEN] Pak Tua dan Dongeng Masa Lalunya
Pak Tua dan Dongeng Masa Lalunya
Oleh Rio Dwi Cahyono
Dimuat di Suara Merdeka, 7 Juli 2019
Di
depan komplek perumahan, aku selalu bertemu dengannya. Seorang lelaki yang
duduk di dekat pohon mangga tepi jalan. Sorot wajahnya tajam berbanding dengan
guratan wajah tuanya yang sendu seakan lelah dengan kehidupan. Dia bukan
pengemis, menurutku. Karena dia tidak pernah meminta-minta pada pejalan kaki
yang berlalu lalang. Maka aku menyebutnya Pak Tua.
Seminggu
penuh aku selalu melewati tempatnya bernaung. Entah dia selalu berdiam di sana
atau berpindah tempat. Rasa penasaranku padanya semakin besar. Apalagi melihat
kondisi kakinya yang tidak utuh sebelah. Suatu hari aku memberhentikan motorku
dan berjalan menemuinya. Awalnya dia nampak terkejut dan menatapku dengan
saksama. Setelahnya, ia tersenyum. Aku juga ikut tersenyum. Dia menyuruhku
untuk duduk di sampingnya, di atas selembar koran lusuh. Lantas ia mulai
mendongeng kisah masa lalunya.
“Aku
tahu kamu. Kamu selalu lewat dan memerhatikanku. Entah apa yang kamu pikirkan
tentangku. Aku hanya seorang pendatang di kota ini, dulunya. Sekarang, kau bisa
lihat sendiri aku seperti apa. Aku bukan pengemis, tak pernah aku meminta-minta
pada orang lain. Warung makan itu, di depan sana, adalah tempatku mencari
makanan yang dibuang. Dan musim hujan adalah tempatku mendapatkan air untuk
minumku. Dulu aku tidak seperti ini. Kehidupanku jauh lebih baik,” ujarnya. Ia
tampak terdiam sebentar.
Dia
seperti seorang peramal. Tahu apa yang ada dipikiranku. Aku semakin kagum
dengan pribadinya. Dia Pak Tua yang tegar dan sepertinya berwawasan luas. Ini
terlihat dari caranya berbicara yang lugas dan tegas.
Ia
melanjutkan kisahnya, “Aku dulu seorang aktivis budaya. Datang ke sini untuk
memelajari adat dan budaya Blora yang kaya. Awalnya aku tidak tahu Blora itu
kota apa dan dimana. Seorang teman, sesama aktivis memberiku gambar-gambar
kebudayaan Blora, seperti tayuban, barongan, wayang krucil, sampai suku samin.
Dari situlah rasa penasaranku muncul. Aku ingin mendalami semua yang ada di
Blora. Ada sesuatu yang menarikku untuk menyetujui hal itu.”
Rupanya
dia aktivis, sama sepertiku. Benar dugaanku bahwa dia berwawasan luas. Mungkin
dongengnya ini dapat memberiku inspirasi ke depannya. Aku pun masih setia
mendengar kisahnya.
“Masa
itu masih masa pemerintahan bupati Soepadi Joedodarmo, saat tayuban masih
menjadi pertunjukan rakyat yang eksentrik dan menyenangkan. Saat masa itu, di
Blora sendiri sudah diadaptasi menjadi seni tayub yang adiluhung menjadi
lambang kesenian Blora. Kau tahu, aku suka sekali tayub. Tayub itu kesenian
yang bebas. Bahkan berkonotasi negatif untuk masyarakat saat ini. Tayub penuh dengan
unsur seks. Dan itu membuatku sempat terlena. Bagaimana tidak? Penari lelaki
dengan gampangnya mencium penari wanita, memasukkan uang dalam kemben mereka,
dan para wanita itu seakan juga membangkitkan nafsu para lelaki yang menjadi
penontonnya.”
Aku
tahu itu. Bahkan tayub sempat diprotes oleh kalangan agamis karena menimbulkan
sesuatu yang buruk bagi masyarakat.
“Dari
sinilah aku bertemu dengan Surti, penari wanita yang kucintai. Setiap aku
menonton tayub, hanya ingin melihat dia. Sampai akhirnya aku bisa mengenal
lebih dekat dengannya. Kau tahu kan suku Samin? Nah dia ternyata bagian dari
suku itu. Dulu aku belum terlalu mengenal Samin. Selain mendekati Surti, aku
juga belajar tentang Samin.
Orang Samin itu masih lugu, polos, dan
menolak segala perintah kolonial. Mereka memiliki pemimpin bernama Samin
Surasentiko. Ternyata suku ini memiliki kitab suci sendiri yang bernama serat
jamus kalimasada. Dari kitab itulah mereka membentuk suatu negara batin yang
damai. Aku suka sekali berada di sana. Meskipun bagi orang yang baru
bersosialisasi dengan mereka akan menganggap mereka seperti orang gila.”
“Lalu, apa kau berhasil dengan Surti?”
tanyaku penasaran. Ya aku hanya berpikir, jika Pak Tua ini berhasil
mempersunting Surti, tentulah hidupnya tidak seperti ini.
“Aku menghamilinya. Karena masa itu,
Samin masih terbuka akan seks. Mereka menjadikan seks atau perkawinan tanpa
perlu adanya ikatan pernikahan. Dan aku ikut terjerumus di dalamnya. Namun
setelah kuhamili, Surti tidak pernah mau menemuiku lagi. Aku merasa seperti
seorang bajingan yang tidak bisa bertanggungjawab.”
Aku menghela napas mendengar ceritanya,
“Kau tidak berusaha menemuinya dan mengajaknya menikah?”
“Sudah, bahkan sampai aku lelah selalu
mendatangi rumahnya. Orang tuanya juga sudah tidak menyukaiku dari awal. Mereka
menganggapku seperti halnya kompeni.”
Lalu raut kesedihan muncul di wajahnya.
Mungkin dia masih sayang dengan Surti hingga saat ini. “Lalu kau tidak mencoba
mencari pengganti Surti?”
“Tidak. Hatiku hanya untuk Surti dan
anak di dalam rahimnya.”
Aku salut. Rupanya dia setia pada
seorang wanita. Tidak seperti mantan kekasihku yang sering kali hanya
menjadikanku mainan. Lalu aku menatap kakinya. Ia seperti tersadar tengah
kutatap.
“Kakiku buntung saat aku mencoba
membantu Surti saat akan diperkosa di pertunjukan tayubnya. Seorang lelaki
menggodanya dan memaksanya untuk memuaskan nafsu. Aku yang mengamati dari jauh
segera menyusul mereka. Naasnya dia tidak sendirian, aku dikeroyok dan kakiku
ditebas dengan parang.”
Aku ngilu mendengar ceritanya. Sungguh.
Tanpa sadar hari sudah mulai malam. Aku
pamit pada Pak Tua itu dan berjanji akan datang esok hari dengan membawa
makanan. Dia hanya mengangguk dan tersenyum.
***
Sore harinya aku kembali menemui pak
tua. Ia sedang duduk dengan khidmat dan menatapku dari jauh. Sepertinya dia
sudah menungguku.
“Ini aku bawakan makanan sesuai janjiku
padamu kemarin. Makanlah, aku tahu kau lapar.”
Tapi ia menolak. Ia tidak mau memakan
bawaanku. Seperti seorang pengemis katanya. Yang hanya bisa menerima. Sekali
lagi aku salut padanya. Aku pun teringat sesuatu.
“Aku sedang mengerjakan makalah untuk
lomba, maukah kau membantuku? Ini tentang budaya Blora. Aku tahu kau pasti
sudah tahu betul seluk beluk tradisi kota ini. Anggap saja makanan ini sebagai
imbalan karena kau membantuku. Bagaimana?”
Ia tampak berpikir sejenak lalu
mengangguk setuju.
Rupanya dia tahu betul budaya dan
kesenian Blora. Mulai dari tayub, barongan, wayang, ketoprak dan lainnya. Aku
yakin banyak kisah yang disimpan dan belum ia ceritakan padaku. Ia memberi
masukan dan pencerahan pada makalahku. Meskipun sudah tua, ia masih ingat betul
detail tradisi dan budaya yang ada. Bahkan hanya beberapa jam saja, makalahku
sudah selesai secara garis besarnya. Tinggal aku dalami dan kupas sedikit,
selesai sudah.
“Jika makalah ini berhasil menjadi
juara, aku akan mentraktirmu. Kau bebas makan dimana saja. Apa yang kau mau.
Sebagai imbalan dan rasa terima kasihku padamu.”
Lagi-lagi ia hanya tersenyum. Aku pun
pulang dengan perasaan senang.
***
Hari ini aku tidak menemui pak tua. Aku
berusaha menyelesaikan makalahku karena besok terakhir mengumpulkan dan
langsung presentasi. Aku sejenak melupakan pak tua itu.
Sampai tibalah saat presentasi makalah.
Aku presentasi dengan sangat baik. Pak tua memberikanku detail tradisi di
makalahku dengan baik. Bahkan juri menyukainya dan menobatkanku menjadi juara
pertama. Aku senang bukan main. Segera aku pulang untuk menemui pak tua.
Saat sampai di sana, aku tidak
menemukannya. Apa dia sedang pergi ke tempat lain? Aku pun pulang, berharap
nanti pak tua sudah kembali.
Sore harinya aku ke sana lagi dan tidak
menemukannya. Berulang kali sampai dua hari. Tapi nihil. Saat aku masih
memikirkan kemana perginya pak tua, seorang pedagang yang ada di dekat situ
menghampiriku.
“Mbaknya sedang apa ya? Saya lihat sejak
kemarin selalu ke sini?”
“Saya sedang mencari pak tua yang
biasanya ada di sini, Pak.”
“Oalah, pak tua itu, dua hari lalu, dia
mengalami kecelakaan saat hendak menyeberang jalan. Dan nahasnya meninggal saat
akan dibawa ke puskesmas. Sebelum meninggal dia sempat menitipkan surat dan
berkata untuk diberikan pada wanita yang mencarinya. Mungkin yang dimaksud pak
tua itu ya si mbaknya ini.”
Bapak itu pun memberikan surat padaku.
Tanganku gemetar menerima surat itu. Aku tak kuasa menahan tangis. Kabar duka
itu seakan datang terlalu cepat. Aku baru mengenalnya dan kini harus berpisah
dengannya.
Segera kubaca surat itu.
Melinda,
aku merasa hidupku sudah tidak lama lagi. Aku senang mengenalmu. Senang berbagi
cerita dan riset budaya padamu. Aku tahu kau akan memenangkan lomba makalah
itu, jadi kuucapkan selamat. Maaf, mungkin saat kamu menemuiku, aku sudah tidak
ada di tempatku seperti biasa. Aku harap kamu menjadi aktivis budaya yang
selalu mencintai budayamu sendiri.
Aku hanya bisa menahan tangisku.
***
Di depanku kini sudah berdiri bangunan
sederhana. Banyak anak-anak sedang berlatih menari, berteater, dan berlatih
pedalangan. Tertulis di papan nama ‘Omah Budhaya’. Bangunan ini adalah rumah
singgah yang aku dirikan untuk mengajak masyarakat melestarikan budaya dan
tradisi Blora yang kaya. Aku ingin mewujudkan pesan Pak Tua agar aku menjadi
aktivis yang selalu cinta budayaku sendiri, budaya dan adat istiadat Jawa
Tengah, khususnya Blora.
“Kau sudah membuktikan padanya, Mel,”
ucap lelaki di sampingku. Dia Burhan, teman sesama aktivis sekaligus suamiku.
“Ya, aku hanya ingin membuat Pak Tua
tersenyum di surga.”
-SELESAI-
Rio
Dwi Cahyono lahir di Blora, 4 Agustus 2001. Menulis fiksi sejak masih SMP.
Prestasi terbaiknya menjadi Juara 3 dalam penulisan cerpen Festival Sastra UGM
2018. Saat ini sedang meramu buku kumpulan cerpen perdananya.
Komentar
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar^^
Kalo info ini bermanfaat buat kamu, silakan share!